A.M
TASMIKA | PENULIS
Bakalbeda.com - Sepeninggal Rasulullah SAW Muncullah berbagai macam golongan- golongan aliran pemikiran dalam islam yang telah memberikan warna tersendiri dalam perkembangan Agama islam.
Pemikiran- pemikiran ini muncul di dasari atas beberapa factor, diantaranya adalah faktor politik sebagaimana di jaman khalifah Sayyidina Ali Ra.
Dimana telah terjadi pertentangan antara Sayyidina Ali dengan pengikut Sayyidina Muawiyah.
Golongan- golongan aliran tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda- beda antara satu dengan yang lainnya.
Ada yang masih dalam koridor Al- Qur’an dan Sunnah, dan ada pula yang berpegang pada Wahyu, dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai Ahlusunnah wal jama’ah.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, kemudian muncul sebuah aliran pemikiran yang menyelaraskan antara akal dan wahyu dalam memahami konteks keimanan dan ajaran agama.
Aliran pemikiran ini di gagas oleh Abu Al Hasan Al Asy’ari pada tahun 873-935 M , di mana beliau awalnya menganut paham Muktazilah kemudian meninggalkan pandangan itu dan membentuk faham pemikiran teologi baru yang kemudian banyak di kenal dengan faham pemikiran Asy’ariah.
Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, Abu Hasan al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H dan Wafat pada tahun 324 H / 935 M, Muncul sebagai tokoh yang menonojol bersamaan dengan munculnya Abu Manshur di Samarkan, Kedua tokoh ini bersatu dalam melakukan bantahan terhadap aliran Muktazilah. Al-Asy’ari mempelajari ilmu Kalam dari seorang tokoh Muktazilah yaitu Abu ‘Ali al-Jubbâi. Karena kemahirannya ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun demikian pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Muktazilah dan condong kepada pemikiran para Fuqaha dan ahli Hadist, pada hal ia sama sekali tidak pernah mengikuti majlis mereka dan tidak mempelajari aqidah berdasarkan metode mereka.
Ada beberpa alasan yang menyebabkan al-Asy’ari menjauhkan diri dari Muktazilah sekaligus sebagai penyebab timbulnya aliran teologi yang dikenal dengan nama al-Asy’ari sebagai berikut, salah satu penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Muktazilah ialah adanya perdebatan-perdebatan dengan gurunya Abu ‘Ali al-Jubbâi tentang dasar-dasar paham aliran Muktazilah yang berakhir dengan terlihatnya kelemahan paham Muktazilah. Di antara perdebatan-perdebatan itu ialah mengenai soal al-Ashlah (“keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan”).
Selain karena merasa tidak puas terhadap konsepsi Muktazilah dalam soal al- Ashlah di atas sebab utama adalah adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka, kalau tidak segera diakhiri.
Sebagai seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin, ia sangat mengkhawatirkan Qur’an dan Hadis menjadi korban paham-paham Muktazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan akal pemikiran sebagaimana dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli Hadis antropomorphist yang hanya memegangi nas-nas dengan meninggalkan jiwanya.
Melihat keadaan demikian, maka al-Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan textualist dan ternyata jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslmin.
Ada beberapa hal yang menjadi pokok pokok ajaran Al Asy’ariah adalah: yang pertama adalah keselarasan akal dan wahyu, Asy’ariyah menegaskan bahwa akal memiliki peran penting, tetapi harus tunduk pada wahyu (Al-Qur'an dan Hadis).
Jika ada kontradiksi antara akal dan wahyu, maka wahyu yang lebih diutamakan , yang kedua zat dan sifat tuhan , Menurut al-Asy’ari Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya. Tuhan bukan pengetahuan(‘ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim).
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa mendengar dan melihat, yang kedua kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia, Menyangkut masalah kekuasaan Tuhan al-Asy’ariah berpendapat bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa menghalangi kekuasaan Tuhan dan menolak keberadaan dari semua penyebab, yang ketiga Kehendak bebas dan takdir, dalam memahami hubungan antara kehendak manusia dan takdir Allah, Asy’ariyah memperkenalkan konsep kasb (usaha manusia). Mereka percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, tetapi manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya, yang keempat Melawan Paham Mu’tazilah, Salah satu motivasi utama lahirnya Asy’ariyah adalah untuk membantah doktrin Mu’tazilah yang dianggap terlalu mengutamakan akal.
Contohnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, sementara Asy’ariyah meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang qadim (tidak diciptakan) , yang kelima adalah keimanan dan amal , Asy’ariyah menegaskan bahwa iman itu terdiri atas keyakinan dalam hati dan tidak tergantung pada amal perbuatan. Meski demikian, amal tetap penting sebagai bagian dari pengamalan iman.
Asy’ariyah menjadi salah satu aliran pemikiran teologi yang dominan dalam Islam Sunni, bersama dengan Maturidiyah.
Mazhab ini memiliki pengaruh yang besar dalam tradisi keilmuan Islam, termasuk di berbagai madrasah dan universitas Islam. Pemikiran Asy’ariyah banyak dianut oleh ulama besar, seperti Imam al-Ghazali dan Imam Fakhruddin al-Razi.
Golongan Asy’ariyah memainkan peran penting dalam membentuk teologi Sunni yang moderat dan seimbang.
Dengan pendekatan yang mengintegrasikan akal dan wahyu, mazhab ini memberikan jawaban atas berbagai tantangan teologis dan filosofis yang muncul sepanjang sejarah Islam.
Penulis : A.M Tasmika (Mahasiswa Pascasarjana Uin Alauddin Makassar) & Prof.Dr Mustari Mustafa, M.Pd (Guru Besar Uin Alauddin Makassar)
0 Komentar