Breaking News

Kontroversi Ustaz Berpolitik: Antara Harapan Moral dan Stigma Negatif


Bakalbeda.com
- Istilah "ustaz berpolitik" sering kali mendapatkan persepsi negatif dalam masyarakat, sehingga figur seorang ustaz yang terlibat atau berencana terjun ke dunia politik praktis kerap kali kehilangan simpati dari sebagian orang.

Fenomena ini menarik untuk dibahas lebih dalam, mengingat kata "ustaz" dan "politik" memiliki konotasi serta makna yang luas.

Pengertian Ustaz: Dari Bahasa Hingga Peran Sosial

Kata "ustaz" berasal dari bahasa Arab, meskipun sebenarnya merupakan kata serapan dari bahasa Persia yang masuk ke dalam bahasa Arab sebagai bagian dari mua'rrab, atau kosakata asing yang diserap ke dalam bahasa tersebut.

Dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus, kata "ustazun" diartikan sebagai "guru", dan juga dapat berarti "guru besar" atau profesor.

Istilah ini merujuk pada seseorang yang dianggap ahli dalam bidang tertentu, tidak terbatas hanya pada agama. Di Indonesia, kata "ustaz" telah mengalami penyempitan makna.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ustaz diartikan sebagai "guru agama," yang secara umum merujuk pada seseorang yang terlibat dalam aktivitas keagamaan.

Di masyarakat, ustaz biasanya dipanggil untuk guru mengaji, penceramah, atau bahkan tokoh agama yang memiliki pengaruh, walaupun pendidikannya tidak selalu formal dari lembaga agama.

Dengan latar belakang ini, "ustaz" tidak selalu harus dikaitkan dengan figur yang berkutat di dunia agama secara eksklusif, apalagi dalam konteks yang lebih luas seperti dunia politik.

Pengertian Politik: Aktivitas Universal

Politik, di sisi lain, memiliki pengertian yang sangat luas. Najwa Shihab pernah menyatakan bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, mulai dari lahir hingga kematian.

Aristoteles bahkan menyebut politik sebagai "master of science" karena menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia.

Dalam arti yang luas ini, setiap warga negara, termasuk seorang ustaz, tentu tidak bisa dilepaskan dari politik.

Namun, keterlibatan dalam politik juga memiliki tingkatan. Mulai dari partisipasi paling dasar, seperti menggunakan hak pilih dalam pemilu, hingga keterlibatan aktif dalam partai politik atau menduduki jabatan politik.

Partisipasi seorang ustaz dalam memilih biasanya tidak dipandang negatif. Namun, ketika seorang ustaz mencoba menduduki posisi politik atau menjadi pengurus partai, persepsi negatif kerap muncul.

Stigma Terhadap Ustaz yang Berpolitik

Salah satu alasan utama mengapa seorang ustaz yang berpolitik kerap dipersepsikan buruk adalah pandangan bahwa politik praktis sering kali dianggap "kotor."

Ada kekhawatiran bahwa masuknya seorang ustaz, yang dianggap sebagai simbol agama, ke dunia politik praktis akan mencederai citra kesucian agama yang ia wakili.

Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa politik adalah ranah yang penuh intrik, kepentingan pribadi, dan kadang-kadang manipulasi.

Selain itu, masyarakat juga sering kecewa ketika ustaz yang mereka harapkan dapat membawa perubahan moral dan etika dalam dunia politik, justru tergelincir dalam politik pragmatis.

Kekecewaan ini bisa memunculkan persepsi bahwa “semua politisi sama saja,” tidak peduli latar belakangnya sebagai ustaz atau bukan.

Hak Politik dan Pandangan Islam

Secara hukum, tidak ada yang salah dengan ustaz yang berpolitik. Dalam Pasal 28D Ayat 3 UUD 1945, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Artinya, seorang ustaz juga memiliki hak yang sama untuk terjun dalam dunia politik.

Demikian pula, dalam perspektif syariat Islam, keterlibatan dalam politik tidak dilarang, meskipun ada beberapa kelompok yang berbeda pandangan mengenai bagaimana muslim seharusnya berpartisipasi dalam politik demokrasi.

Sebagian besar umat Islam di Indonesia juga menerima praktik politik demokrasi, setidaknya dalam hal menyalurkan hak pilih.

Oleh karena itu, tidak ada larangan syariat yang jelas bagi seorang ustaz untuk berpolitik, selama ia mengikuti aturan yang berlaku dan tidak melanggar prinsip-prinsip keadilan dan integritas.

Mengapa Persepsi Negatif Muncul?

Persepsi negatif terhadap ustaz yang berpolitik tidak hanya datang dari kalangan yang menganggap politik kotor, tetapi juga dari harapan yang terlalu tinggi terhadap peran ustaz sebagai figur yang "tak tercemar."

Saat ustaz gagal memenuhi harapan tersebut atau bahkan terjebak dalam dinamika politik yang penuh dengan kompromi, kekecewaan menjadi tak terelakkan. 

Hal ini juga diperburuk ketika ustaz menggunakan narasi agama untuk menyerang lawan politik atau melegitimasi ambisi pribadi.

Ini bisa menyebabkan masyarakat merasa bahwa agama hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, bukan untuk kebaikan umat.

Tantangan dan Harapan

Memasuki dunia politik praktis bagi seorang ustaz tentu memiliki tantangan tersendiri. Harapan masyarakat agar mereka membawa nilai-nilai agama ke dalam politik sering kali berhadapan dengan realitas politik yang pragmatis.

Selain itu, ustaz yang terjun ke politik harus bisa memisahkan kapan berbicara sebagai seorang agamawan dan kapan berbicara sebagai politisi.

Hal ini penting agar tidak mencampuradukkan antara kepentingan agama dan kepentingan politik praktis.

Namun, kehadiran seorang ustaz dalam politik juga membawa harapan besar bahwa mereka bisa menjadi pembawa nilai-nilai moral dan etika yang kuat.

Tokoh-tokoh seperti Recep Tayyip Erdogan sering dijadikan contoh bahwa masuknya orang baik ke dunia politik bisa membersihkan sistem dari dalam.

Persepsi negatif terhadap "ustaz berpolitik" lahir dari berbagai faktor, mulai dari stigma bahwa politik itu kotor, hingga kekecewaan terhadap ustaz yang gagal menjaga idealisme saat terjun ke politik.

Namun, secara hukum maupun syariat, tidak ada yang salah dengan keterlibatan ustaz dalam politik.

Yang penting adalah bagaimana seorang ustaz bisa menjaga integritas, membedakan perannya sebagai figur agama dan politisi, serta tetap membawa nilai-nilai moral yang baik ke dalam arena politik. 

Pada akhirnya, politik adalah bagian dari kehidupan setiap warga negara, termasuk ustaz.

Menjauhkan ustaz dari politik tidak realistis, terutama di negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Yang lebih penting adalah bagaimana ustaz yang berpolitik dapat menjaga muruah agama dan berperan dalam memperbaiki sistem, bukan justru terjerumus dalam praktik politik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka bawa.***

Sumber: sinjai.info
Penulis: Muhlis Pasakai (Imam Masjid Nurul Iman Tangka Mas)


0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2023 - Bakal Beda